PERCIK.ID- Sungguh berkesan bagi saya mendengarkan ceritera-ceritera generasi boomers baik yang dari kalangan priyayi, santri, atau awam sekalipun dalam mendapatkan jodohnya. Biasanya kalau kalangan priyayi dijodohkan dengan yang memiliki derajat sosial setara, semaqom. Sedangkan kaum santri pada umumnya dengan dasar sami’na wa atho’na dengan takdzim pada sang kiai langsung mengiyakan ketika dijodohkan, kami mendengar dan kami taati. Pun yang kaum awam juga sering jumpai ceritanya bahwa ia berjodoh karena rembuk antar orang tua saja. Hari ini mereka yang bercerita kepada saya bagaimana menemukan cinta, pasangan, dan belahan hati itu sudah barang tentu sedang asyik menghabiskan waktu bersenda gurau dengan anak cucunya. Artinya, perjalanan pernikahan yang singkat melalui perjodohan a la zaman dulu rupanya langgeng sampai menjadi kaken-ninen. Artinya, pasangan dengan proses yang begitu itu memiliki keyakinan yang kuat bahwa takdir begitu itu yang terbaik. Artinya, rasa tawakkal mereka benar-benar keren.
Semakin
ke sini, semakin banyak jenis proses untuk mendapatkan jodoh. Ada yang melalui
pacaran, sir-siran, ta’aruf, dengan
berbagai metodenya yang rasanya metode perjodohan orang tua seperti orang
tua-orang tua terdahulu semakin jarang ditemukan. Lantas bagaimana proses
mendapatkan pasangan yang terbaik? Tiap orang punya versinya. Akan tetapi, poin
penting dalam sebuah perjodohan adalah Alloh meridhoi proses tersebut.
Bagi saya
salah satu landasan kunci mendapatkan ridho tersebut melaksanakan perintah
Alloh yang juga guru-guru saya amanatkan kepada saya. Surat Al Isra’: 32 dimana
Alloh dawuh, “Janganlah kamu mendekati zina,..” Sederhana sekali bagi saya lha wong mendekati zina saja dilarang
apalagi berzina. Jadi kenapa mesti pacaran? Kalau pacaran adalah pintu untuk
mendekati zina.
Ya tapi
kan tidak semua pacaran berujung zina? Tergantung bagaimana kedua orang
berpacaran tersebut menjaga dirinya.
Oke,
mungkin selama pacaran tidak berzina, tetapi perilaku orang berpacaran memiliki
kecenderungan mendekati zina. Sebut saja sayang-sayangan baik via chatting atau pun langsung, bergandengan
tangan, berpelukan, mengusap kepala, atau bahkan berciuman. Padahal kegiatan
tersebut sungguh akan besar pahalanya jika diikat dalam sebuah tali pernikahan
yang sah.
Jika
pacaran menjadi dalih untuk berkenalan terlebih dahulu, agar bisa saling
menjajaki, agar pernikahan yang dibangun tidak runtuh hanya karena belum kenal
maka berapa banyak orang yang atas dasar logika tersebut rumah tangganya juga
terseok-seok. Lha kalau tidak kenal,
tidak pacaran apa ya bisa membangun rumah tangga? Apa bisa saling mencintai? Ya
‘kan kenal dan cinta itu tidak harus dengan
pacaran. Sudah banyak contoh pasangan suami istri yang tanpa pacaran memiliki
peradaban rumah tangga yang sholih, sakinah, mawaddah, wa rohmah.
Berpacaran
bukanlah jaminan sebuah rumah tangga menjadi sempurna. Ia bisa saja menjadikan
rumah tangga harmonis namun dalam prosesnya apakah yakin tidak mendekatkan diri
pada zina? Sedangkan tidak berpacaran merupakan sebuah keyakinan kepada Alloh
Swt. bahwa jodoh yang akan dijemput tidak melalui proses yang memiliki potensi
untuk tidak diridhoi Alloh (mendekati zina). Wah ekstrim sekali kalau
pacaran dianggap sebuah perilaku yang mendekati zina dan melanggar norma agama.
Tidak, tidak ekstrim kok. Dawuh-NYA sudah jelas, kalau keyakinan kita dalam
mencari jodoh masih belum lepas dari kata pacaran, jangan katakan bahwa tidak
pacaran adalah langkah yang ekstrim, tetapi kadar keyakinan kita yang harus
dikoreksi. Toh bukan lantas tidak
berpacaran tidak boleh kenal juga memahami calon pasangan, tetapi ada cara lain
tanpa pacaran yang bisa ditempuh untuk li
ta-a’rofu, saling mengenal dan memahami. Ingat, jangan beli kucing dalam
karung!
Kalau
membangun rumah tangga untuk menggapai ridho Ilahi bisa dilakukan dengan proses
yang elegan, cantik, dan mengikuti norma serta petunjuk Alloh sangat mungkin
untuk dilaksanakan, kenapa mesti pacaran? Saya pun yakin guru-guru ngaji kita
jarang sekali atau bahkan tidak sama sekali menempuh jalur pacaran. Wa la taqrobu zina!