MU: Tidak Lebih Penting Dari Lontong Balap

PERCIK.ID- Sepak bola sebenarnya bukan satu-satunya olahraga atau permainan yang saya mainkan ketika masih anak-anak. Saya bisa bermain voli, basket, kasti, bulu tangkis, kelereng, balap sepeda, boi-boinan, gobak sodor, lompat tali, obak delikan dan ngintir kali ketika banjir.

Pada usia saya saat ini, tinggal sepak bola saja yang masih relevan saya mainkan, meski cuma di console atau PC. Semenjak pandemi merebak tiga tahun yang lalu, terhitung cuma sekali saya bermain bola sugguhan, futsal tepatnya. Tubuh dan kaki yang terlalu lama tidak bermain membuat saya kesulitan mengontrol bola, napas saya terkuras, benar-benar terkuras sampai saya merasa bahwa saya terlalu tua untuk permainan ini.

 

Sepak bola juga satu-satunya olahraga yang masih sering saya tonton dan ikuti beritanya. Sebelum itu saya masih menonton F1 dan MotoGP, ketika Lewis Hamilton masih seorang rookie. Saya berhenti menonton MotoGP setelah Valentino Rossi pensiun membalap. MotoGP tanpa Rossi tidak lebih menarik dari balap liar anak-anak ingusan di jalan-jalan perkotaan Surabaya. 

 

Sepakbola membawa saya mengenal nama-nama pemain, stadion, klub dan negara dengan logo, jersey dan warna benderanya. Membawa saya merasakan momen-momen asing yang bisa menyenangkan dan menyedihkan sekaligus. Sepak bola juga memberi pengalaman baru bagi jantung saya. Membuatnya berdetak serupa Drums of Liberation di jantung Luffy dalam mode Gear 5, pada saat-saat tertentu.

 

Saya pernah menulis dan mengaku bahwa  Roma adalah cinta pertama. Mungkin sekali itu merupakan pengakuan yang terburu-buru. Kalau pun tidak, itu adalah pengakuan yang tanpa saya sertai dengan kesadaran. Sama seperti orang yang tanpa sadar menyanyikan lagu, "Menangislah lah, kan kau juga manusia. Mana ada yang bisa...", karena lagunya sedang viral, terdengar di mana-mana.

 

Serie A atau Liga Calcio ketiku itu sedang di puncak ketenarannya, barangkali hanya film Bollywood yang bisa mengunggulinya. Di momen itu Roma dapat Scudetto dan menjadi klub yang paling menonjol. Parodi lagu Bollywood dengan nama-nama pemain Roma jadi sangat terkenal di kalangan teman sepermainan. Tentu saja saya juga mengenal Juventus, Milan dan Inter, bahkan Lecce, Perugia dan Chievo Verona. Tapi Roma adalah nama yang paling akrab di telinga. Pelizzoli sampai Francesto Totti adalah sajian utama telinga anak-anak.

 

Saya ingat, kapan dengan sadar saya menyukai sebuah tim sepakbola; Perancis di Piala Dunia 2002. Bukan momen yang indah, sebaliknya, sangat buruk. Juara bertahan yang jadi pesakitan tanpa mencetak 1 gol pun. Zidane tidak bermain pada dua pertandingan awal karena cidera dan mungkin dipaksa bermain pada pertandingan terakhir grub A melawan Denmark yang berakhir dengan kekalahan 2-0. Perancis tersingkir dengan cara yang tidak pernah dibayangkan oleh orang gila mana pun.  

 

Serie A mencapai puncaknya ketika Milan dan Juventus berhadap-hadapan di Final Liga Champions 2004 dengan Milan keluar sebagai juaranya. Tahun-tahun selepas itu terjadi pergeseran. Serie A bukan lagi liga paling populer, Liga Inggris mulai lebih sering dibicarakan oleh kawan-kawan. Klub-klub Liga Inggris lebih sering dipilih dan dimainkan sebagi jagoan di PS 2.

 

Manchesterd United adalah tim yang dengan sadar saya sukai. Singkatnya, saya hafal segala sesuatu yang berkenaan dengan klub ini. Apakah kalian mengenal Ebanks Blake? Saya mengenalnya, cadangan abadi skuat MU 2004-2006. Ibaratnya, kamu telah mengenal kekasihmu sampai ke lubang udelnya.

 

Anak-anak mengukur kekuatan tim melalui PS 2. Arsenal adalah monster kala itu dengan; Henry, Bergkamp, Ljungberg, Pires dan Viera mengisi tim utama. Chelsea tak kalah garangnya dengan; Crespo, Drogba, Lampard, John Terry dan Cech. MU? Barangkali hanya Ruud van Nistelrooy dan Rio Ferdinand yang berada di puncak performa. Giggs, Roy Keane, Scholes dan Gary Neville berada di ujung karirnya, Rooney dan Ronaldo terlalu muda untuk jadi andalan dan idola.

 

Tahun 2008 ketika MU berhasil memenangkan Liga Champions, adalah kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya menontonnya dengan seorang teman bernama Zainal Farikhin di rumah neneknya yang biasa saya panggil De Sah. Skor 1-1 di waktu normal dan perpanjangan, pertandingan harus diakhiri dengan adu tendangan penalti.

 

Ronaldo yang mencetak skor di babak pertama waktu normal gagal melakukan eksekusi sebagai penendang ketiga. Ketika skor menjadi 4-4, Chelsea berada di atas angin. John Terry akan jadi eksekutor penentu. Dalam guyuran hujan, wajahnya terlihat tegang. Seorang kapten, mencetak gol dalam momen seperti ini akan jadi cerita yang sempurna. Tetapi Tuhan mengabulkan jutaan doa "penyembah" Iblis Merah. John Terry terpeleset, tendangannya meleset. Kakinya seperti ditarik oleh Malaikat Jibril, bola menghantam tiang gawang.

 

Ketika tendangan Nicholas Anelka berhasil digagalkan oleh Edwin van Der Sar, yang memastikan MU menjadi juara, ketegangan seketika berubah rupa. Saya tidak pernah bisa mereplika polah tingkah dan perasaan saya ketika itu; berteriak sejadi-jadinya dan berkali-kali memukul kasur di ranjang reot itu.

 

Setelah itu MU berhasil dua kali mencapai Final Liga Champions dan dua kali pula kalah oleh Barcelona-nya Pep Guardiola. Sejak itu—sependek ingatan saya—prestasi terbaik MU di Liga Champions adalah comeback di 16 besar lawan PSG pada tahun 2019.

 

Hari ini MU bukan lagi tim yang menakutkan. Old Trafford—dulu—adalah tempat di mana impian lawan untuk menang dikubur dalam-dalam. Kini, di sana mereka bisa berpesta sesuka hati. Gonta-ganti pelatih jadi seperti acara seremonial yang tidak punya arti, MU kesulitan untuk kembali ke posisinya sebagi tim yang disegani dan sarat dengan prestasi. Serangkaian hasil buruk jadi serupa istiqamah, dan tidak ada yang bisa lebih buruk lagi dari kekalahan tujuh nol melawan Liverpool musim lalu. Tidak ada.

 

Saya tidak pernah mendaku diri sebagai fans sejati atau fans garis keras MU. MU memang klub yang saya sukai—mungkin saya cintai. Ia telah jadi bagian dari hidup saya, memberi saya kegembiraan dan warna yang segar pada kenangan. Tapi cuma sejauh itu. Ia bukan yang terpenting.

 

Lelaki dewasa mempunyai persoalan yang lebih penting; cicilan rumah, uang bulanan istri, tabungan sekolah anak, kiriman untuk orang tua, uang untuk buku bagus dan game bola, menjaga pikiran agar tetap waras, melatih diri untuk selalu kreatif dan sederet persoalan lainnya. Hal tersebut menempatkan MU pada posisi yang sejujurnya tidak terlalu penting lagi dalam hidup saya. MU bahkan tak lebih penting dari jadwal rutin mingguan sarapan lontong balap di Jln. Kranggan.

 

Kadang-kandang MU berguna untuk membuat saya merefleksikan sesuatu, misalnya; tidak peduli sesukses apa pun kamu di masa lalu, orang tidak melihat itu. Orang melihat dan menilaimu hari ini. Mereka mudah lupa dan enteng mencela. Atau, sebaliknya; nilai kamu tidak ditentukan oleh keburukan apa yang kamu lakukan di masa lalu, melainkan oleh tindakanmu sekarang dan bagaimana kamu memaksimalkan potensi yang ada pada dirimu.

 

Jika saya terdengar seperti seorang motivator, tolong dimaklumi. Saya senang bercerita dan sedang berlatih supaya bisa bercerita dengan bagus. Saya ucapkan terima kasih jika kalian bisa bertahan membacanya sampai sejauh ini. 


Jika tulisan ini bagus, kalian tidak akan kecewa, seperti penggemar MU yang selalu optimis bahwa timnya akan comeback di menit-menit akhir pertandingan, seperti sepekan yang lalu. Jika tulisan ini jelek—tidak hanya mirip—, kalian memang benar-benar penggemar MU yang hobi menyiksa diri dengan ekspektasi tinggi. Bertahun-tahun optimis tsunami trofi, bertahun-tahun pula kecewa dan masuk goa. 


Syafiq Rahman
Freelence Writer & Pedagang Buku "Makaru Makara"  fb          

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama