PERCIK.ID- Dulu aku adalah seorang Sungokong sekaligus
David Beckham. Dalam perjalanan menuju lapangan di belakang balai desa, akan
saya bawa toya sakti saya di atas pundak. Berjalan lewat pematang sawah dengan spirit
mencari kitab suci.
Terik matahari jadi tidak berarti sebab
perjalanan mencari kitab suci adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang mulia.
Hujan lebat adalah ujian yang saya songsong dengan gagah berani sebab dengan
ujian, kemampuan saya akan tumbuh dan berkembang.
Dalam perjalanan itu saya ditemani oleh Wucing, Patkai dan tentu saja Biksu Tong. Mereka adalah teman seperjalanan yang sempurna. Sebenarnya, kami semua adalah Sungokong, sebab tak ada yang mau menjadi Wucing atau Patkai. Diam-diam kami meyakini diri kami Sungokong, satu-satunya Sungokong.
Biksu
Tong kami adalah dua anak dengan usia yang lebih tua. Mereka musti
berhadap-hadapan dalam tim yang berbeda nanti sesampainya di lapangan. 1 biksu membuatmu berhasil mendapatkan kitab suci, tapi 2 biksu membuatmu
kalah dalam pertandingan sepak bola; mereka tidak mau oper satu sama lain.
Sesampainya di lapangan saya adalah David
Beckham. Maka saya bermain sebagai sayap kanan. Menyisir lapangan dengan lincah,
melewati satu-dua pemain dan selalu siap memberikan umpan kepada van Nistelroy
yang selalu siaga dengan kaki dan kepalanya. Kadang-kadang mencoba peruntungan
dari jarak jauh. Mengunci target di pojok atas gawang dan melepaskan tendangan
lengkung andalan. Tidak selalu berhasil memang, tapi jika berhasil akan
membuat saya membicarakannya selama seminggu.
Saya sedang berusaha mengingat-ingat kapan
terakhir kali saya bebas berimajinasi. Tidak merasa takut dan malu berkhayal
dan membayangkan hal-hal seaneh apa pun. Semakin beranjak dewasa, keberanian
untuk melakukan hal-hal semacam itu merosot sama sekali. Saya dan teman-teman
sama-sama ingin tumbuh dewasa. Tumbuh dewasa artinya berusaha berhenti
berimajinasi. Berhenti mengaku sebagai Sungokong atau Biksu Tong. Berhenti
menjadi David Beckham, Ronaldo, Zidane dan Del Piero, sebab hanya anak-anak
yang berbuat demikian. Kami berhenti menjadi seniman jika merujuk perkataan
Pablo Picasso, "Setiap bocah adalah seniman. Masalahnya adalah
bagaimana tetap menjadi seniman saat ia tumbuh dewasa.”
Lalu, apa masalahnya jika kita berhenti
berimajinasi? Jika kita rela menjalani hidup yang tidak menarik dan
membosankan, maka tak ada masalah. Tapi jika kita menginginkan hidup yang penuh
dengan warna dan kemungkinan-kemungkinan baru, maka itu adalah bencana.
Imajinasi memberi kita peluang
untuk menjadi baik, atau bisa juga sebaliknya. Menjadi Sunkogong atau David
Beckham, bisa juga Siluman Tengkorak atau Kera Tumpei. Imajinasi menentukan
reaksi kita terhadap situasi, diri kita sendiri dan selainnya.
Tanpa imajinasi, John Lennon tidak akan
menciptakan lagu seindah "Imagine", manusia tidak akan mendarat ke
bulan, Piala Dunia dan sepak bola tidak akan ada, meski dengan imajinasi pula
kamu bisa terjerat judi slot dan pinjol dan karena imaninasi pula perang
Israel-Palestina terus berlangsung puluhan tahun.
Dengan keberanian menjaga imajinasi tetap
hidup dan kesediaan untuk terus belajar, paling tidak kita akan selalu punya
cara untuk membuat diri kita menjalani hidup dengan cara yang tidak terlalu
buruk. Kita selalu menemukan cara untuk lepas dari kesulitan dan frustrasi
ketika menganggap hidup kita gagal. Kita bisa mengatakan misalnya, "Saya
tidak gagal. Saya berhasil membuktikan bahwa hidup yang dijalani dengan malas
dan tanpa keterampilan akan begini begini saja." Ucapan seperti itu hanya
berasal dari orang yang imajinasinya hidup. Ia punya cara untuk memaknai segala
sesuatu dan menyikapinya dengan lebih masuk akal.